3/6/13

Hukum berpacaran dalam islam dan larangan-larangan yang berhubungan dengan pacaran.



Assalamu’alaikum wr wb
Sebagai penganut islam yang ta’at, kita harus mematuhi segala apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh ALLAH SWT, karena selain bernilai ibadah, pasti dibaliknya terdapat manfa’at yang berdampak positif bagi yang mematuhinya.
Pada hari ini, saya akan mencoba membahas tentang hukum  mencabut alis mata, tato, mengubah bentuk gigi, menyambung rambut, karena “tidak ada gading yang tak retak”, saya meminta bantuan kepada para pembaca untuk mengoreksi artikel ini, apabila di artikel ini terdapat kesalahan, karena saya masih dalam proses belajar.
Kali ini saya akan coba membahas tentang Dilarang mengeraskan suara & melembutkan suara, dilaranng memakai jilbab/alat penutup aurat yang ketat dan terbuka, dilarang memakai parfum yang berlebihan(Khusus bagi wanita), dilarang BERPACARAN, Dilarang Cipika-cipiki dan saling bersentuhan antara lawan jenis, bahkan dengan sejenispun bisa haram(kalau dengan nafsu), dilarang membuka aurat kepada yang bukan mahram, batasa-batas aurat,  dilarang untuk berdua-dua an dengan lawan jenis(dengan sejenispun tidak boleh karena bisa terjadi,,,,MA’AF,,,penyakit homoseksual)dan dilarang melihat lawan jenis(dengan sejenispun tidak boleh, kalau dengan syahwat)
Hukum menutup aurat dan batas-batas aurat, Seperti firman ALLAH SWT:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.” (QS Al-A’raf [7] : 26)
Jadi, Allah menciptakan pakaian bagi dua sisi hikmah yang teramat besar. Yang pertama: Untuk menutupi aurat; yang kedua: Sebagai alat untuk keindahan, perhiasan dan kecantikan. Kemudian Dia mengarahkan kita, atau mengabarkan kepada kita, pakaian yang terbaik daripada pakaian yang dikenakan di tubuh, dan itulah pakaian takwa:
 “Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS A;-A’raf [7] : 26)
Keduanya, laki-laki dan perempuan, harus menutupi auratnya dengan perlindungan yang memadai karena ini akan menjaga akhlak. Adapun (rasa) tidak tahu malu dan ketelanjangan, hal ini mendorong pada hal-hal yang merusak akhlak. Kehilangan kehormatan, penyebaran kemaksiatan. Namun manakala aurat tersembunyi dengan penutupan yang diperintahkan Allah yang harus ditaati oleh laki-laki dan perempuan, hal ini akan melindungi kemaluan dari zina dan homoseksual dan melindungi kemaluan dari perkara haram yang dilarang Allah.
Kemudian Allah mengkhususkan wanita dari laki-laki, dimana Dia berfirman:
 “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” (QS An-Nuur [24] : 31)
Disini Allah memerintahkan wanita untuk mengenakan Hijab, yang merupakan penutupan yang menyeluruh yang menutupi tubuh wanita termasuk wajahnya, tangan, kaki dan seluruh tubuhnya. Hal ini juga berlaku untuk rambutnya, yang harus ditutupinya dihadapan pria yang bukan mahramnya. “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya” berarti dia tidak boleh memperlihatkan perhiasannya baik itu perhiasan fisik yang terdiri dari tubuhnya seperti wajah,
tangan, dan sebagainya, atau yang berupa dandanan yang dipakai, seperti perhiasan, pewarnaan rambut, celak, dan lain-lain.
Wanita telah diperintahkan untuk menutupi perhiasan tubuhnya demikian juga perhiasan yang dikenakannya, yang (digunakan untuk) menghiasi tubuhnya dengannya, seperti warna, perhiasan, celak mata dan semisalnya. “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” merujuk pada bagian luar pakaian menurut pendapat benar, artinya: Apa yang jelas dengan sendirinya tanpa dia harus
menunjukkannya, dan ini adalah pakaian luar yang tidak mengandung (hal-hal yang menimbulkan) godaan atau rangsangan. Kemudian Dia berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khumur)”. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yaitu merujuk pada sesuatu yang menutupi atau menahan sesuatu. Itulah sebabnya mengapa khamr (alkohol) disebut dengan nama ini karena dia menutupi dan menahan (yakni memabukkan) pikiran. “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” Ini merujuk pada bagian terbuka di bagian atas pakaian mereka yang memperlihatkan bagian tenggorokan dan bagian leher. Seorang wanita tidak boleh membiarkan bagian ini terbuka bagi laki-laki untuk dipandang, namun sebaliknya dia harus memanjangkan khimar-nya diatasnya. Jika seorang wanita diperintahkan untuk menutupi lehernya, maka terlebih lagi wajahnya harus ditutupi. Bahkan, mengulurkan khimar di atas dada dan bagian leher diperlukan juga jatuh ke wajah. Alasannya karena khimar diletakkan di atas kepala. Sehingga jika diletakkan di atas kepala agar jatuh menutupi dada, maka
hal itu termasuk wajah.
Apa yang juga lebih jauh menerangkan hal tersebut adalah pernyataan Aisyah rahdiallahu anha: “Pengendara laki-laki biasa melewati kami ketika kami (para isteri) sedang ihram bersama Rasulullah _. Apabila mereka mendekati kami, masing-masing kami menjulurkan jilbabnya (dari atas)
kepala menutupi wajah. Dan ketika mereka berlalu, kami pun membuka kembali wajah kami.”( Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (6/30), Abu Dawud (no. 1833) dengan lafazh darinya, Ibnu Majah (no. 2935) dari Aisyah radhiallahu anha.)
Dan juga terdapat firman Allah:
 “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS Al-Ahzab [33] : 59)
Jilbab adalah kain lebar yang dikenakan wanita untuk membungkus tubuhnya, dan yang dikenal sebagai jaket (luar) yang besar yang dikenakan wanita di luar pakaiannya. Allah telah memerintahkan wanita untuk meletakkannya menutupi wajahnya hingga tidak ada yang terlihat dari seorang wanita yang dapat menjadi godaan bagi manusia.
 “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS Al-Ahzab [33] : 59)
Ini adalah perintah kepada wanita untuk mengenakan hijab keatas tubuhnya dan seluruh bagian yang menarik yang darinya dikhawatirkan menimbulkan godaan. Allah berfirman:
 “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (QS Al-Ahzab [33] : 53)
Meskipun yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah isteri-isteri Nabi, ayat ini bersifat umum. Adapun lafazh dari ayat ini khusus untuk para isteri Nabi, manakala artinya bersifat universal untuk semua wanita, karena isteri-isteri Nabi adalah suri teladan bagi wanita mukmin. Allah menjelaskan secara menyeluruh dalam pernyataan berikutnya, dimana Dia berfirman:
 “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS Al-Ahzab [33]: 53)
Allah memerintahkan wanita yang akan ditanyai berada di balik hijab. Apa yang dimaksud dengan kata Hijab adalah: Sesuatu yang menutupi wanita, baik itu kain maupun dinding, pintu atau benda lain yang dapat digunakan untuk menutupi wanita dari seorang laki-laki ketika ia (laki-laki) berbicara dengannya (wanita) atau bertanya sesuatu kepadanya atau memberikan sesuatu. Semua ini harus dilakukan dibalik hijab, yakni dibalik tabir atau penutup. Jadi dia (laki-laki) tidak boleh melakukan kontak dengan wanita ketika ia (wanita) tidak berhijab (maksudnya
berada dibalik hijab –pent), atau tidak terhijab dengan sempurna atau terbuka.
Bahkan ia harus berada di balik tirai yang menutupinya, apakah itu kainnya, pintunya, dinding dan lain sebagainya. Hal ini karena yang demikian “lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” dari godaan. Jika wanita menutupi diri mereka dengan berhijab dan pandangan pria tidak jatuh pada mereka, hati keduanya, pria dan wanita akan terselamatkan dari godaan dan hasrat. Hal ini jelas terlihat dalam masyarakat Muslim yang berpegang teguh pada Hijab.
Masyarakat yang berpegang teguh pada hijab terjaga dari kerusakan akhlak. Bahkan karena kurangnya (perhatian pada) Hijab yang mengakibatkan keburukan akhlak dan godaan terhadap gairah laki-laki. Oleh karena itu firman Allah: “Lebih suci untuk hatimu dan hati mereka” memuat dasar yang universal bagi seluruh umat karena Hijab mengandung pensucian hati bagi keduanya, pria dan wanita, dalam taraf yang sama. Hal itu menutup semua jalan yang dapat membawa pada kerusakan akhlak.
Hukum wanita dalam bepergian/keluar rumah, Hukum khalwat/berdua-dua an dengan yang bukan mahrom dan memakai parfum
Seorang wanita Muslimah - khususnya di zaman kita dimana banyak wanita mulai keluar untuk bekerja atau pergi ke pasar atau mengunjungi keluarganya dan lain-lain– harus mewaspadai jenis khalwat yang terlarang ini, tidak perduli apakah itu terjadi di dalam rumah, di mobil ataupun di tempat lainnya.
Seorang wanita Muslimah juga tidak boleh keluar rumah secara berlebihan kecuali untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak yang tidak dapat dipenuhi kecuali dengan keluar rumah. Maka jika dia mempunyai keperluan untuk keluar (rumah), dia harus menutupi dirinya dan tidak mengenakan parfum. Alasan dari hal ini adalah bahwa jika dia keluar rumah dengan mengenakan parfum, ini merupakan penyebab timbulnya kejahatan dan mengundang perhatian ke arahnya, demikian juga laki-laki akan memandangnya dan mengikutinya.
Sehingga manakala seorang wanita mampu untuk tinggal di dalam rumahnya, hal itu lebih melindungi dirinya. Allah menunjuk kepada para isteri Nabi _ - yang merupakan teladan bagi kita – dan berkata:
 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (QS Al-Ahzab [33] : 33)
Ini berasal dari kata qaraar yang berarti tetap tinggal dan tidak keluar karena ini merupakan hal yang terbaik sebagai perlindungan bagi wanita. Maka selama dia tetap tinggal di rumahnya itu adalah lebih baik baginya. Dan jika dia memiliki kebutuhan untuk keluar rumah, dia boleh pergi namun tetap menutupi diri (berhijab –pent).
Hal yang demikian karena Allah menyukai ketika wanita shalat di rumahnya dan tidak keluar untuk shalat di masjid, walaupun masjid adalah rumah ibadah dan suci. Namun karena keluarnya akan menampakkannya dirinya pada kejahatan, maka shalat di rumah lebih baik baginya daripada shalat di masjid. Nabi _ bersabda: “Janganlah (kalian) menahan hamba-hamba Allah wanita keluar menuju Masjid Allah. Akan tetapi rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.”( HR Ahmad (2/16 & 76), Al-Bukhari (1/216), Muslim (no. 442). Abu Dawud (no. 879) dan Malik dalam Al-Muwatta (no. 465) dari Ibnu Umar . Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/475), Abu Dawud (no. 556)
dan Ad-Darimi (no. 1282) dari Abu Hurairah)
Beliau _ juga bersabda: “Dan biarkan wanita keluar tanpa (mengenakan) wewangian.”( HR Ahmad (2/438), Abu Dawud (no. 565), Ad-Darimi (no. 1282) dari Abu Hurairah ; Imam Ahmad (5/192 & 193) dari Zaid bin Khalid al-Juhani , dan Imam Ahmad (6/69 & 70) dari Aisyah radhiallahu anha.)
Adalah menyedihkan, banyak wanita yang keluar rumah sekarang ini – bukan untuk sesuatu yang penting namun hanya untuk sekedar berjalan-jalan di pasar-pasar, sedangkan mereka menghias dirinya, memakai parfum dan membuka wajahnya. Ketika mereka memasuki toko-toko dan masuk ke ruang pameran, mereka membuka wajahnya di hadapan para pekerja dan para penjual sebagaimana layaknya jika mereka adalah mahramnya! Dan bercakap-cakap dengan ramah kepada mereka, bercanda dan tertawa bersama mereka. Dimanakah rasa malu itu,
Dalam rangka untuk melindungi kehormatan pria dan wanita dan menjaga hati mereka dari godaan, dan sebagai alat untuk menutup jalan-jalan yang membawa pada kerusakan, seorang wanita tidak dibolehkan bepergian (safar) sendirian tanpa seorang mahram. Hal ini karena jika seorang wanita ditemani oleh seorang mahram, dia (laki-laki) akan menjaganya, melindunginya dan memperhatikan kebutuhannya. Nabi bersabda: “Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar dalam jarak dua hari kecuali ditemani oleh mahram.”( HR Al-Bukhari (2/219-220) dari Abu Sa’id Al-Khudri)
Dalam riwayat yang lain dikatakan: “sehari semalam”( HR Muslim (no. 1339) dari Abu Hurairah) manakala di dalam riwayat yang lain dinyatakan: “bersafar.”( HR Bukhari (4/18) dan Muslim (no. 1341)) Tanpa disebutkan jangka waktunya.
Apa yang dimaksudkan di sini adalah seorang wanita tidak boleh bepergian sendirian tanpa mahram. Jika dia melakukannya, yakni bepergian sendirian, dia tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, melakukan apa yang dilarang Allah dan membuka dirinya terhadap fitnah. Hal ini berlaku secara umum dan setiap keadaan dan waktu.
Adapun mengenai perkataan sebagian orang – bahwa jika seorang wanita bepergian dengan ditemani oleh sekelompok wanita, hal ini menjadi pengganti mahram – maka pandangan ini bertentangan dengan sabda Nabi: “Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sendirian dalam jarak (perjalanan) sehari kecuali ditemani oleh mahram.”( HR Muslim (no. 1339) dari Abu Hurairah )
Sekelompok wanita tidak dapat bertindak sebagai mahram. Mahram seorang wanita telah dikenal – yakni laki-laki yang tidak boleh dinikahi karena hubungan kekeluargaan (nasab), seperti ayah, anak, paman dari ayah, paman dari ibu atau karena sebab-sebab yang diperbolehkan, seperti ikatan perkawinan, misalnya ayah mertua, atau anak dari suami (anak tiri) atau hubungan karena persusuan berdasarkan sabda Nabi _: “Diharamkan bagi persusuan apa yang diharamkan karena nasab.”( HR Bukhari (3/149) dari Ibnu Abbas)
Oleh karena itu, seorang mahram adalah laki-laki yang dilarang (dinikahi) karena pertalian darah atau beberapa alasan yang diperbolehkan. Larangan (menikah) ini juga terus berlangsung, yakni abadi. Maka apa yang tidak termasuk dalam kategori ini adalah larangan (pernikahan) sementara seperti saudara perempuan isteri dan bibi-bibi dari ayah dan ibu isteri (bibi dari pihak mertua –pent). Itu sebabnya suami tidak dapat bertindak sebagai mahram bagi saudara perempuan isterinya, meskipun dia dilarang menikahinya (iparnya tersebut –pent) karena larangan pernikahan ini bersifat sementara. Demikian pula, dia tidak dapat menjadi mahram bagi saudarasaudara perempuan mertuanya (bibi dari isteri). Inilah yang disebut mahram.
Adapun sekelompok wanita, mereka bukanlah mahram. Nabi _ telah menetapkan bahwa seorang wanita harus didampingi seorang mahram ketika melakukan perjalanan dalam semua keadaan, apakah itu perjalanan dengan berjalan kaki, mengendarai hewan, di dalam mobil ataupun pesawat. Sebagian orang pada masa sekarang ini menyatakan bahwa tidak masalah bagi seorang
wanita bepergian dengan pesawat dan seorang mahram mengantarnya ke bandara, manakala mahram lainnya menjemputnya di bandara yang lain. Kami katakan: Tidak, hal ini tidak diperbolehkan, karena dia bepergian tanpa disertai mahram. Dan Nabi _ bersabda: “Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sendirian dalam jarak (perjalanan) sehari kecuali ditemani oleh mahram.” Hal ini berlaku apakah dia bepergian dengan berjalan kaki, dengan mobil, atau mengendarai binatang. Nabi _ tidak menetapkannya.
Namun demikian, penyebabnya ada, karena hal ini berkenaan dengan fitnah yang dikhawatirkan akan menimpanya – meskipun dia berada di atas pesawat. Dia tidak selamat dari fitnah dengan menumpang pesawat terbang.
Lebih lanjut, ambil contoh jika pesawat tersebut terpaksa merubah tujuan penerbangan dan mendarat di negara lain, siapa yang akan menjemputnya di negara ini? Itulah sebabnya harus ada mahram hadir menyertainya. Hal ini serupa suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Nabi _ dan berkata: “Ya Rasulullah, saya hendak ikut dalam sebuah peperangan, tetapi istriku hendak berangkat haji.” Nabi _ berkata kepadanya: “Kembalilah dan pergilah haji bersama isterimu.”
(HR Bukhari (2/219) dari Ibnu Abbas )
Nabi _ mengalihkan laki-laki ini dari peperangan agar dia dapat menemani isterinya berhaji dan bertindak sebagai mahramnya. Hal ini merupakan dalil bahwa mahram adalah persyaratan seorang wanita untuk berhaji atau ke tempat lainnya, tidak perduli apakah dia bersama sekelompok orang atau tidak. Inilah sebabnya para ulama fiqih rahimahumullahu, menyebutkan bahwa salah satu syarat dimana Haji menjadi wajib bagi wanita adalah jika dia memiliki mahram yang siap melakukan perjalanan bersamanya. Jika tidak ada mahram baginya, maka tidak diwajibkan haji sampai ada seorang mahram untuknya.
Islam juga melarang seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita – yang berarti dia sendirian bersamanya di tempat yang sunyi dan tidak seorang pun hadir pada saat itu – karena ini membawa pada timbulnya fitnah. Nabi _ bersabda: “Berhati-hatilah masuk kepada wanita.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana dengan kerabat laki-laki?” Beliau menjawab: “kerabat laki-laki adalah merupakan kematian.”( HR Bukhari (6/158-159) dari Uqbah bin Amir ) Artinya: Bahaya bagi anggota keluarga lebih besar.
Mengapa demikian? Karena seorang wanita kurang menahan diri dari kerabat lakilaki suaminya dibandingkan dengan laki-laki lainnya. Pengendalian drirnya terhadap mereka lebih ringan. Namun demikian, semestinya ini menjadi perhatian dan kewaspadaan yang berlaku bagi kerabat laki-laki suami.
Adapun apa yang kita dengar sekarang ini dari kejahilan bahwa seorang saudara laki-laki suami, atau paman atau keluarga laki-laki lainnya (dari pihak suami) menyapa isterinya, menjabat tangannya, berdua saja dengan isterinya, dan datang kepadanya – ini tidak memiliki dasar. Hal ini tidak diperbolehkan bagi yang bukan mahram untuk mendatangi wanita (tanpa hijab), tidak menjabat tangannya, tidak berkhalwat berdua dengannya secara privasi kecuali jika ada orang lain di dalam rumah dimana privasi menjadi hilang. Adapun dia memamsuki rumah manakala wanita sendirian, dan dia bukanlah mahramnya, maka hal ini bentuk khalwat yang tidak diperbolehkan dan berbahaya.
Contoh lain jika dia (laki-laki) memasuki ruang kosong – yang tidak ada orang lain kecuali dia dan sang wanita. Hal ini tidak diperbolehkan karena hal ini akan membawa kepada fitnah. Meskipun kejadiannya adalah laki-laki yang berdua dengan wanita tersebut dalam ruang privasi adalah seorang dokter. Nabi _ bersabda: “Tidak seorang laki-laki yang berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali yang ketiga adalah syetan.”( HR Bukhari (6/158-159) dari Uqbah bin Amir ) Hal ini berarti bahwa syetan hadir dan menyebabkan mereka jatuh kedalam keburukan akhlak yang tampak indah (dimata mereka –pent). Hal ini karena syetan selalu menyeru kepada fitnah dan mengambil keuntungan dari kesempatan ini untuk menebarkan kerusakan akhlak kepada mereka. (Oleh karena itu) untuk memotong semua jalan syetan dan para pembantunya dan juga jalan-jalan kerusakan, syariah melarang laki-laki berkhalwat dengan perempuan.
Diantara bentuk khalwat khalwat baru yang muncul di zaman sekarang ini adalah wanita yang mengendarai mobil sendirian dengan seorang sopir yang bukan mahramnya. Dia mengantarnya ke sekolah, ke pasar bahkan ke masjid. Hal ini tidak diperbolehkan. Tidak diperbolehkan seorang wanita berada di dalam mobil sendirian dengan seorang sopir yang bukan mahram baginya karena ini merupakan bentuk khalwat yang dilarang.

Islam juga melarang seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita – yang berarti dia sendirian bersamanya di tempat yang sunyi dan tidak seorang pun hadir pada saat itu – karena ini membawa pada timbulnya fitnah. Nabi _ bersabda: “Berhati-hatilah masuk kepada wanita.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana dengan kerabat laki-laki?” Beliau menjawab: “kerabat laki-laki adalah merupakan kematian.”( HR Bukhari (6/158-159) dari Uqbah bin Amir ) Artinya: Bahaya bagi anggota keluarga lebih besar.
Mengapa demikian? Karena seorang wanita kurang menahan diri dari kerabat lakilaki suaminya dibandingkan dengan laki-laki lainnya. Pengendalian drirnya terhadap mereka lebih ringan. Namun demikian, semestinya ini menjadi perhatian dan kewaspadaan yang berlaku bagi kerabat laki-laki suami.
Adapun apa yang kita dengar sekarang ini dari kejahilan bahwa seorang saudara laki-laki suami, atau paman atau keluarga laki-laki lainnya (dari pihak suami) menyapa isterinya, menjabat tangannya, berdua saja dengan isterinya, dan datang kepadanya – ini tidak memiliki dasar. Hal ini tidak diperbolehkan bagi yang bukan mahram untuk mendatangi wanita (tanpa hijab), tidak menjabat tangannya, tidak berkhalwat berdua dengannya secara privasi kecuali jika ada orang lain di dalam rumah dimana privasi menjadi hilang. Adapun dia memamsuki rumah manakala wanita sendirian, dan dia bukanlah mahramnya, maka hal ini bentuk khalwat yang tidak diperbolehkan dan berbahaya.
Contoh lain jika dia (laki-laki) memasuki ruang kosong – yang tidak ada orang lain kecuali dia dan sang wanita. Hal ini tidak diperbolehkan karena hal ini akan membawa kepada fitnah. Meskipun kejadiannya adalah laki-laki yang berdua dengan wanita tersebut dalam ruang privasi adalah seorang dokter. Nabi _ bersabda: “Tidak seorang laki-laki yang berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali yang ketiga adalah syetan.”( HR Bukhari (6/158-159) dari Uqbah bin Amir ) Hal ini berarti bahwa syetan hadir dan menyebabkan mereka jatuh kedalam keburukan akhlak yang tampak indah (dimata mereka –pent). Hal ini karena syetan selalu menyeru kepada fitnah dan mengambil keuntungan dari kesempatan ini untuk menebarkan kerusakan akhlak kepada mereka. (Oleh karena itu) untuk memotong semua jalan syetan dan para pembantunya dan juga jalan-jalan kerusakan, syariah melarang laki-laki berkhalwat dengan perempuan.
Diantara bentuk khalwat khalwat baru yang muncul di zaman sekarang ini adalah wanita yang mengendarai mobil sendirian dengan seorang sopir yang bukan mahramnya. Dia mengantarnya ke sekolah, ke pasar bahkan ke masjid. Hal ini tidak diperbolehkan. Tidak diperbolehkan seorang wanita berada di dalam mobil sendirian dengan seorang sopir yang bukan mahram baginya karena ini merupakan bentuk khalwat yang dilarang.
Seorang wanita Muslimah - khususnya di zaman kita dimana banyak wanita mulai keluar untuk bekerja atau pergi ke pasar atau mengunjungi keluarganya dan lain-lain– harus mewaspadai jenis khalwat yang terlarang ini, tidak perduli apakah itu terjadi di dalam rumah, di mobil ataupun di tempat lainnya.
Seorang wanita Muslimah juga tidak boleh keluar rumah secara berlebihan kecuali untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak yang tidak dapat dipenuhi kecuali dengan keluar rumah. Maka jika dia mempunyai keperluan untuk keluar (rumah), dia harus menutupi dirinya dan tidak mengenakan parfum. Alasan dari hal ini adalah bahwa jika dia keluar rumah dengan mengenakan parfum, ini merupakan penyebab timbulnya kejahatan dan mengundang perhatian ke arahnya, demikian juga laki-laki akan memandangnya dan mengikutinya.
Sehingga manakala seorang wanita mampu untuk tinggal di dalam rumahnya, hal itu lebih melindungi dirinya. Allah menunjuk kepada para isteri Nabi _ - yang merupakan teladan bagi kita – dan berkata:
 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (QS Al-Ahzab [33] : 33)
Ini berasal dari kata qaraar yang berarti tetap tinggal dan tidak keluar karena ini merupakan hal yang terbaik sebagai perlindungan bagi wanita. Maka selama dia tetap tinggal di rumahnya itu adalah lebih baik baginya. Dan jika dia memiliki kebutuhan untuk keluar rumah, dia boleh pergi namun tetap menutupi diri (berhijab –pent).
Hal yang demikian karena Allah menyukai ketika wanita shalat di rumahnya dan tidak keluar untuk shalat di masjid, walaupun masjid adalah rumah ibadah dan suci. Namun karena keluarnya akan menampakkannya dirinya pada kejahatan, maka shalat di rumah lebih baik baginya daripada shalat di masjid. Nabi _ bersabda: “Janganlah (kalian) menahan hamba-hamba Allah wanita keluar menuju Masjid Allah. Akan tetapi rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.”( HR Ahmad (2/16 & 76), Al-Bukhari (1/216), Muslim (no. 442). Abu Dawud (no. 879) dan Malik dalam Al-Muwatta (no. 465) dari Ibnu Umar . Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/475), Abu Dawud (no. 556)
dan Ad-Darimi (no. 1282) dari Abu Hurairah)
Beliau _ juga bersabda: “Dan biarkan wanita keluar tanpa (mengenakan) wewangian.”( HR Ahmad (2/438), Abu Dawud (no. 565), Ad-Darimi (no. 1282) dari Abu Hurairah ; Imam Ahmad (5/192 & 193) dari Zaid bin Khalid al-Juhani , dan Imam Ahmad (6/69 & 70) dari Aisyah radhiallahu anha.)
Adalah menyedihkan, banyak wanita yang keluar rumah sekarang ini – bukan untuk sesuatu yang penting namun hanya untuk sekedar berjalan-jalan di pasar-pasar, sedangkan mereka menghias dirinya, memakai parfum dan membuka wajahnya. Ketika mereka memasuki toko-toko dan masuk ke ruang pameran, mereka membuka wajahnya di hadapan para pekerja dan para penjual sebagaimana layaknya jika mereka adalah mahramnya! Dan bercakap-cakap dengan ramah kepada mereka, bercanda dan tertawa bersama mereka. Dimanakah rasa malu itu,


No comments:

Post a Comment